Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang membuatanya terbakar
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang membuatnya tiada
Pembaca/ penyimak mungkin akan protes, mana bisa seperti itu, pengorbanan cinta
yang membuat terbakar dan tiada itu, dapat dikatakan sederhana? Tapi begitulah,
dengan puisi itu dia ingin menunjukkan cintanya yang terdalam, cinta
yang ditunjukkan dengan pengorbanan yang demikian hebat. Tapi itulah yang
dia namakan sebagai cinta yang sederhana.
Saya juga pingin bahas sedikit, Sapardi tidak menulis “Seperti kata yang tak
sempat diucapkan” tapi dia memilih untuk mengatakan “Dengan kata yang tak
sempat diucapkan” ini sangat menarik, sebab saya dulu selau mengingat syair ini
menggunakan kata “seperti”, nyatanya Sapardi menggunakan kata “dengan” dalam puisi
tersebut. Saya pikir penggunaan kata ini menunjukkan bahwa dia memaksudkan
cinta yang sederhana itu adalah cinta yang benar-benar menggunakan
kata-kata yang harusnya ‘diucapkan’ oleh kayu dan ‘diisyaratkan’ oleh hujan
tersebut, mungkin kata-kata itu ialah,: “Biarlah aku menderita asal engkau
bahagia….” Kalau bahasa zaman sekarang mungkin kata-katanya adalah, “Apa sih
dek, yang nggak buat kamu?”
Ada juga kata yang hilang yaitu “oleh”, ini sangat mungkin hanya digunakan
untuk mempercantik rangkaian kata-kata tersebut. Bisa juga hilangnya kata
“oleh” tadi dimaksudkan untuk menyebabkan efek penegasan intonasi pada
pengucapan kata “kayu “ dan “awan” .
Sebenarnya ada lagi penulis puisi cinta lain, tapi kaliber dunia. Namanya
Kahlil Gibran, seorang yang hidup di dua keping dunia, barat dan timur.
Sayangnya saya tak terlalu suka dengan puisi-puisinya, terutama puisi cintanya
Gibran ini, agak sedikit suram menurut saya. Dan pada novel best seller “5
cm” terbitan Grasindo pun ada disebutkan salah satu tokoh ceritanya, yang
dulunya begitu menggilai karya Kahlil Gibran ini, jadi luntur rasa cintanya
karena karya-karya Kahlil Gibran menjadi karya populis di pasaran.
Karena itu dari seluruh “puisi cinta” yang pernah saya baca, puisi Sapardi
Djoko Damono ini masih mendapat tempat paling tinggi di hati, bersama dengan
tentu saja puisi-puisi karya saya sendiri. Tentu saja puisi saya mesti saya
hargai (wa ka.. ka.. ka ka..). Sebaik dan sejelek apapun itu mesti dihargai,
kalau tidak siapa lagi yang akan menghargainya, wrigh or wrong it’s your
poems…
Nah, ada lagi satu puisinya di bawah ini, dari Sapardi Djoko Damono:
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon bunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Pemilihan kata juni itu saya kira benar-benar menggunakan perhitungan dan atau
intuisi. Juni, dari sisi rima sangat dekat dengan kata seni dan semi, suatu
cerminan atas keindahan. Dari segi waktu pun, imajinasi pembaca akan dibawa,
bahwa, secara sadar atau tidak sadar, bahwa juni adalah bulan kemarau, bahkan
mungkin klimaksnya bulan kemarau. Di saat begitulah hujan begitu dinantikan,
dan turunnya hujan ini dapat merupakan suatu pengalaman orgasmik, pengalaman
meletup-letup akibat terbayarnya sebuah kerinduan dan tentu berbeda dari
“hujan-hujan” pada waktu yang lain.
Dan juga di sinilah sisi magis dari puisi ini, ternyata yang merindu itu
bukanlah “pohon bunga itu” tetapi “hujan” itulah yang merindu, rindunya itu
dirahasiakannya pada sang “pohon bunga itu”. Kalau kita bayangkan, pastilah
“pohon bunga” akan selalu memaki-maki, mengapa “hujan” tak turun jua. Tapi apa
yang sebenarnya terjadi? ternyata sang “hujan”-lah yang begitu tabah memendam
rindu untuk memberi kehidupan dan kesegaran bagi sang “pohon bunga” itu.
Pada bait kedua, sang “hujan” mengakui bahwa segala pengorbanan yang dilakukannya
adalah belum sepenuhnya ikhlas, maka dihapusnyalah jejak kakinya di jalan itu,
di hapusnya segala bekas kehadirannya. Tak usahlah kau tahu aku pernah memberi
engkau cinta, karena aku sendiri masih meragu…
Dan di bait ketiga dia berkata, inilah kearifan “hujan bulan juni” itu,
membiarkan yang tak terucapkan itu diserap oleh pohon bunga itu. Dan
biarkanlah, dan biarkanlah ketidak-mengertian itu yang menghidupimu…
Baiklah, selanjutnya kita bandingkan dengan puisi Chairil Anwar dibawah ini:
Derai-derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Tampaknya, kata-kata “yang tak terucapkan” itu menjadi favorit di kalangan
penyair. Lihatlah lagi pada puisi “aku ingin” di awal, ada juga kata-kata “tak
sempat diucapkan”. Apakah itu, entahlah, mungkin sesuatu yang sangat besar
hingga tak sanggup melewati rongga mulut atau justru pengetahuan atau perasaan
sang penyair belum sampai ke sana walau sudah sangat terasa. Tapi sedikit untuk
digali, puisi itu seolah hendak berkata semakin berumur maka kita akan semakin
jauh dari cinta sekolah rendah, seolah dia hendak berkata, semakin jauh kita
meninggalkan cinta yang masih sepenuhnya tulus…
Untuk derai-derai cemara, SDD pernah membahas puisi ini adalah menunjukkan
“keinsyafan Chairil” karena puisi ini dapat dikatakan lebih teratur dan
menggunakan pola berima, juga puisi ini adalah puisi yang dekat dengan waktu
kematiannya.
Ada lagi satu puisi oleh Sapardi yang berkenaan dengan hujan:
Gadis Kecil
Ada gadis kecil disebrangkan gerimis
Di tangan kanan bergoyang payung
Tangan kirinya mengibas tangis
Di pinggir padang ada pohon dan seekor burung
Bayangkanlah, jika tangis anak kecil
itu untuk seekor burung yang terluka di atas pokok pohon. Dengan sebuah
ketulusan sang gadis kecil, dikarenakan gerimis yang menghujani tubuh burung
yang terluka itu, menyebrang padang ingin menolongnya. Tapi apa daya, itu
tangan tak kuasa untuk meolongnya, sehingga tangislah yang menetes, disela
gerimis…
Sehingga kedua tangan itu hanya digunakan untuk memegang payung dan mengibas
tangis, tanpa daya…
Anda tahu puisi-puisi yang lebih indah? Mungkin puisi itu dari kekasih anda
sendiri… (subjektif sih, kan katanya apa aja ditambah cinta jadinya indah,
kwa.. kha.. kha..kha.. kha..)
Tapi kalau berkenan, silahkan anda tuliskan puisi yang paling indah menurut
anda, terserah, mau dari penulis terkenal kek, karangan anda sendiri atau dari
kekasih anda, dan apapun jua jenisnya, mau puisi cinta kek, persahabatan kek,
benci kek, satir kek, kalau anda rasa itu paling indah tulis aja. Jangan lupa
sertakan pula siapa pengarangnya
Oleh Sapardi Djoko Damono: